Ancaman terhadap Kedaulatan Rakyat: Analisis Kritis Kebijakan Fiskal dan Ekonomi Pemerintah Indonesia dalam Perspektif Demokrasi

Dinamika perekonomian global dan domestik dihadapkan pada tantangan yang kompleks, menuntut respons kebijakan yang adaptif dan strategis dari pemerintah. Di Indonesia, berbagai kebijakan fiskal dan ekonomi yang dirancang untuk menjaga stabilitas dan memacu pertumbuhan ekonomi telah digulirkan. Namun, sejumlah kebijakan ini, khususnya yang direncanakan untuk tahun 2025, telah memicu gelombang kritik publik yang luas, memunculkan pertanyaan fundamental mengenai keberpihakannya terhadap rakyat. Kebijakan seperti kenaikan pajak, penambahan cukai, dan penyesuaian iuran layanan publik dianggap sebagai beban yang memberatkan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah dan menengah.

Laporan ini disusun untuk menyajikan analisis mendalam dan komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Tujuannya melampaui sekadar menyoroti ketidakpuasan publik, melainkan untuk mengkaji justifikasi pemerintah di baliknya, menganalisis dampak nyatanya di lapangan, dan, yang terpenting, mengaitkan seluruh fenomena ini dengan prinsip-prinsip inti dari demokrasi. Laporan ini secara spesifik berfokus pada hubungan kausal antara instrumen kebijakan ekonomi dan esensi tata kelola demokratis, seperti kedaulatan rakyat, akuntabilitas, transparansi, partisipasi publik, dan keadilan sosial. Dengan demikian, laporan ini bertujuan untuk memberikan landasan argumentatif yang kokoh bagi pemahaman yang lebih bernuansa tentang bagaimana keputusan ekonomi dapat mengikis fondasi demokrasi dari dalam, meskipun bentuk-bentuk proseduralnya tetap terjaga.

Demokrasi: Kedaulatan Rakyat dan Pilar-pilar Akuntabilitas

Kedaulatan Rakyat: Prinsip yang Teruji dalam Praktik

Demokrasi secara fundamental didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat. Prinsip ini menegaskan bahwa kepemimpinan negara dan pemerintah dibentuk serta dipertahankan melalui persetujuan rakyat, yang merupakan sumber utama dari segala legitimasi politik. Di Indonesia, konsep ini secara eksplisit diabadikan dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan demokratis, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Konstitusi juga menjamin hak-hak asasi warga negara, termasuk kebebasan berpendapat yang merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara.   

Meskipun demikian, diskursus publik di Indonesia belakangan ini menunjukkan adanya kemerosotan dalam praktik demokrasi dan keadilan sosial. Kemerosotan ini tidak hanya ditandai dengan pembatasan kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dan menyampaikan kritik, tetapi juga dengan kenyataan bahwa banyak masyarakat tidak merasakan kesejahteraan. Ada polarisasi di mana demokratisasi hanya dirasakan oleh segelintir elite yang memiliki akses pada kekuasaan, sementara masyarakat kecil terus mengalami penderitaan. Hal ini menciptakan paradoks: meskipun kedaulatan rakyat secara teoretis dijamin oleh konstitusi, pelaksanaannya di lapangan menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan tidak selalu berasal dari persetujuan tulus dan partisipasi efektif dari seluruh rakyat. Ini menunjukkan bahwa esensi kedaulatan rakyat sedang tergerus oleh dominasi kekuasaan yang berupaya membatasi kebebasan berekspresi.   

Pilar-pilar Kunci Demokrasi dalam Konteks Fiskal

Kedaulatan rakyat tidak dapat terwujud tanpa pilar-pilar penopang yang kuat, terutama dalam pengelolaan keuangan negara. Dua pilar utama yang sangat relevan dalam konteks kebijakan fiskal adalah akuntabilitas dan partisipasi publik, dengan keadilan sosial sebagai tujuan akhirnya.

Akuntabilitas dan Transparansi Fiskal

Akuntabilitas adalah persyaratan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), di mana setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Akuntabilitas publik memiliki tiga fungsi esensial: sebagai alat kontrol demokrasi, mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.   

Namun, akuntabilitas tidak dapat terwujud tanpa adanya transparansi, yaitu kemudahan akses terhadap informasi. Tanpa informasi yang memadai, masyarakat tidak dapat melakukan pengawasan yang efektif. Laporan menunjukkan bahwa kesulitan dalam mengakses informasi publik, bahkan untuk data pengadaan barang dan jasa yang penting, seringkali menjadi kendala dalam upaya pengawasan publik. Hal ini menciptakan kondisi di mana masyarakat tidak memiliki dasar yang cukup untuk mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan pemerintah, sehingga mengikis salah satu pilar utama demokrasi.   

Partisipasi Publik dan Mekanisme Check and Balance

Partisipasi publik adalah hak warga negara untuk terlibat dalam perancangan dan implementasi kebijakan fiskal. Partisipasi langsung ini, seperti melalui mekanisme anggaran terbuka (   

open budgets), tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik tetapi juga terbukti meningkatkan kualitas anggaran, menghasilkan defisit yang lebih rendah, dan mengarah pada alokasi sumber daya yang lebih terarah. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi publik adalah katalisator untuk tata kelola yang lebih baik dan sah.   

Dalam konteks ini, masyarakat sipil dan pers memainkan peran krusial sebagai "pilar keempat demokrasi". Mereka berfungsi sebagai mekanisme    

check and balance untuk mencegah dominasi kekuasaan dan memastikan pemerintah tetap responsif terhadap aspirasi rakyat. Ketika kebebasan pers dan organisasi masyarakat dibungkam, sistem demokratis berisiko terdegradasi menjadi otokrasi totaliter.   

Keadilan Sosial

Pada akhirnya, keadilan sosial adalah tujuan fundamental yang harus dicapai oleh sebuah negara demokratis. Keadilan ini tidak hanya terbatas pada kesetaraan di mata hukum, tetapi juga mencakup distribusi sumber daya ekonomi yang adil dan merata. Ketika ketimpangan distribusi ekonomi semakin lebar dan pembangunan yang tidak merata menjadi-jadi, hal itu secara langsung menunjukkan kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, yang pada gilirannya mencerminkan kemerosotan dalam praktik demokrasi itu sendiri.   

Analisis Kebijakan Ekonomi Pemerintah: Justifikasi dan Realitas Lapangan

Potret Kebijakan yang Dipermasalahkan

Rencana pemerintah untuk tahun 2025 telah menimbulkan kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat. Berbagai sumber mengidentifikasi sejumlah kebijakan yang diperkirakan akan membebani rakyat, antara lain:

  • Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Tarif PPN direncanakan naik dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).   
  • Penambahan Objek Cukai: Pemerintah berencana mengenakan cukai baru pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Usulan ini, yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih.   
  • Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan: Direktur Utama BPJS Kesehatan menyatakan bahwa kenaikan iuran berpotensi terjadi di tahun 2025. Meskipun belum ada keputusan final, penentuan kebijakan ini sepenuhnya berada di tangan pemerintah melalui Peraturan Presiden.   
  • Potensi Kenaikan Harga BBM dan Gas Elpiji: Pemerintah juga berencana memangkas subsidi BBM pada tahun 2025, yang dapat mengisyaratkan adanya kenaikan harga di pasaran.   

Justifikasi Pemerintah

Di balik kebijakan-kebijakan yang menimbulkan keresahan publik ini, pemerintah mengajukan sejumlah justifikasi yang berlandaskan pada tujuan-tujuan fiskal dan pembangunan nasional. Justifikasi utama yang sering disampaikan adalah untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), meningkatkan pendapatan negara, dan mengurangi ketergantungan pada utang. Menteri Keuangan menyatakan bahwa kebijakan fiskal ini adalah instrumen untuk menopang tujuan menuju Indonesia Maju 2045 dan berfokus pada penurunan kemiskinan dan kesenjangan.   

Terkait kenaikan PPN, pemerintah berargumen bahwa perubahan tarif ini akan "mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat". Diklaim bahwa tarif 12% hanya akan dikenakan pada barang mewah, sedangkan barang kebutuhan pokok akan dibebaskan dari PPN. Pemerintah menganggap ini sebagai sebuah paket komprehensif yang dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat sambil menstimulasi perekonomian.   

Dampak Terhadap Masyarakat: Realitas yang Bertentangan

Meskipun narasi pemerintah berfokus pada stabilitas fiskal dan keadilan, realitas di lapangan dan analisis dari berbagai pihak menunjukkan dampak yang bertentangan.

  • Pelemahan Daya Beli: Kenaikan PPN diprediksi akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Serikat buruh menolak keras kebijakan ini, menilai bahwa kenaikan PPN sebesar 12% akan "menjeritkan" daya beli, apalagi jika kenaikan upah minimum tidak signifikan. Mereka bahkan mengancam akan melakukan mogok nasional sebagai bentuk protes.   
  • Ancaman bagi UMKM: Kenaikan tarif PPN ini diperkirakan akan berdampak besar pada pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pelaku UMKM kemungkinan harus menaikkan harga produk atau layanan mereka untuk menyesuaikan dengan kenaikan pajak, yang pada gilirannya dapat menurunkan daya beli konsumen dan menghambat pertumbuhan bisnis mereka.   
  • Dampak Gender yang Tidak Proporsional: Analisis dari koalisi masyarakat sipil menyoroti bahwa kenaikan PPN 12% akan memberikan beban finansial yang tidak proporsional terhadap perempuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ironisnya, barang-barang esensial bagi perempuan seperti pembalut wanita tidak termasuk dalam daftar pengecualian PPN, menjadikan kebijakan ini sebagai "kebijakan anti-perempuan".   

Pernyataan pemerintah bahwa kenaikan PPN hanya akan menyasar barang mewah dipertanyakan oleh masyarakat sipil, yang menilai kebijakan tersebut sebagai "solusi palsu" dan "gimmick komunikasi". Kontradiksi antara justifikasi pemerintah dan dampak riil di lapangan menunjukkan adanya jurang pemisah antara retorika kebijakan dan pengalaman hidup rakyat.   

Ringkasan Kebijakan Fiskal 2025 dan Dampaknya

Disintegrasi Antara Kebijakan Ekonomi dan Prinsip Demokrasi

Analisis terhadap kebijakan fiskal pemerintah menunjukkan adanya ketegangan yang signifikan antara implementasi kebijakan ekonomi dan prinsip-prinsip inti demokrasi yang seharusnya menjadi landasannya.

Erosi Kedaulatan Rakyat: Antara Retorika dan Aksi

Meskipun prinsip kedaulatan rakyat secara konstitusional diakui, praktik pembuatan kebijakan menunjukkan adanya pelemahan substansial dalam partisipasi dan pengaruh rakyat. Ketika pemerintah tetap maju dengan kebijakan yang diprotes keras oleh publik—termasuk melalui demonstrasi besar-besaran oleh aliansi mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil —hal ini mengindikasikan bahwa suara rakyat tidak lagi menjadi dasar yang efektif dalam pengambilan keputusan.   

Alih-alih menanggapi protes, pemerintah cenderung mengacu pada proses legislasi yang sudah final, menyatakan bahwa kenaikan PPN sudah "ada UU-nya". Penolakan petisi masyarakat sipil oleh Mahkamah Konstitusi juga secara efektif menutup jalur konstitusional untuk menolak kebijakan tersebut. Kondisi ini menciptakan paradoks: meskipun bentuk-bentuk demokrasi prosedural seperti pemilu dan legislasi masih berjalan, esensi kedaulatan rakyat—yaitu kemampuan rakyat untuk secara substansial memengaruhi keputusan yang berdampak langsung pada hidup mereka—tampak melemah. Hal ini selaras dengan analisis yang menyebutkan bahwa demokratisasi di Indonesia cenderung hanya dinikmati oleh segelintir elite yang memiliki akses pada kekuasaan, sementara aspirasi masyarakat luas seringkali terabaikan.   

Keterbatasan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Proses Pengambilan Keputusan Fiskal

Kritik terhadap kebijakan fiskal juga mencerminkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi yang substansial. Pemerintah cenderung mengandalkan komunikasi yang bersifat naratif umum, seperti klaim bahwa kenaikan PPN akan "mewujudkan keadilan dan gotong royong" , tanpa disertai dengan data atau analisis dampak yang rinci dan mudah diakses oleh publik. Koalisi Masyarakat Sipil menyebut pendekatan ini sebagai "gimmick komunikasi" dan menuntut agar pemerintah menghentikan narasi bahwa PPN hanya menyasar barang mewah.   

Kesenjangan antara narasi dan realitas ini menunjukkan praktik yang oleh beberapa ahli disebut sebagai "penghindaran demokrasi" (democracy avoidance) dalam pembuatan undang-undang pajak. Pendekatan ini memprioritaskan perhitungan teknokratis-birokratis di atas proses yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kepentingan nyata warga negara. Tanpa transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas, mekanisme kontrol demokrasi menjadi tidak efektif, dan pemerintah tidak dapat dipercaya untuk menggunakan kewenangannya demi kebaikan publik.   

Keadilan Sosial yang Dikorbankan: Membela Korporasi, Membebani Rakyat

Pilihan kebijakan fiskal pemerintah juga menunjukkan adanya ketidakadilan substansial yang mengorbankan prinsip keadilan sosial. Alih-alih menerapkan pajak progresif yang membebankan pada individu atau korporasi kaya, pemerintah memilih untuk menaikkan PPN, sebuah pajak konsumsi yang bersifat regresif dan dampaknya terasa lebih berat pada masyarakat berpenghasilan rendah.   

Sementara masyarakat sipil telah mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih adil, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak komoditas ekstraktif, dan pajak ekologi, kebijakan yang justru diterapkan adalah insentif pajak untuk kendaraan listrik dan properti mewah. Insentif ini secara eksklusif menguntungkan kelompok berpenghasilan tinggi dan pemilik bisnis properti. Pola ini sejalan dengan temuan dari kasus kelangkaan minyak goreng, di mana kebijakan pemerintah dinilai "menyengsarakan rakyat, menguntungkan korporasi". Kondisi ini menunjukkan disonansi antara narasi pemerintah yang pro-rakyat dengan kebijakan riil yang cenderung pro-kapital, menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan birokrasi, alih-alih berakar pada kedaulatan rakyat, justru mencari legitimasi melalui kebijakan yang menguntungkan kelompok ekonomi kuat, sebuah gejala kemunduran demokrasi.   

Analisis Komparatif: Indonesia di antara Negara-negara Demokrasi Lain

Perbandingan praktik fiskal Indonesia dengan negara-negara demokratis lainnya menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi norma-norma tata kelola demokratis yang diakui secara global.

Meskipun rasio pajak Indonesia (tanpa kontribusi sosial) berada di kisaran 12%, yang tidak terlalu jauh dari rata-rata negara ASEAN (12-14%), struktur perpajakannya masih belum progresif. Studi dari lembaga internasional menunjukkan bahwa rezim demokrasi seharusnya memilih kebijakan yang lebih menguntungkan kaum miskin melalui redistribusi pendapatan, misalnya dengan memberlakukan pajak yang lebih tinggi bagi kelompok kaya. Namun, kebijakan fiskal Indonesia justru memilih jalur yang berbeda, di mana beban pajak meningkat pada rakyat secara umum melalui PPN, sementara kelompok berpenghasilan tinggi justru mendapatkan insentif.   

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan Kritis

Laporan ini menyimpulkan bahwa meskipun pemerintah memiliki justifikasi makroekonomi yang sah untuk kebijakan fiskalnya, cara implementasi dan dampaknya di lapangan menunjukkan erosi mendalam pada prinsip-prinsip dasar demokrasi. Adanya jurang pemisah yang signifikan antara narasi pemerintah yang mengklaim pro-rakyat dengan kenyataan kebijakan yang membebani masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah dan menengah, menunjukkan adanya kegagalan dalam mewujudkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik yang otentik.

Keterbatasan akses informasi, pengabaian terhadap protes publik, dan pilihan kebijakan yang cenderung regresif, secara kolektif mengindikasikan bahwa esensi kedaulatan rakyat sedang terkikis. Demokrasi di Indonesia terancam menjadi sekadar formalitas prosedural, di mana keputusan-keputusan penting dibuat oleh segelintir elit dan birokrasi tanpa adanya keterlibatan dan pertanggungjawaban yang substansial kepada rakyat.

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis di atas, diajukan beberapa rekomendasi kebijakan untuk mengembalikan tata kelola fiskal Indonesia ke jalur yang lebih demokratis dan berkeadilan:

  • Reformasi Pajak yang Progresif dan Adil: Pemerintah harus menghentikan ketergantungan pada pajak konsumsi yang regresif seperti PPN dan beralih untuk mengeksplorasi sumber pendapatan yang lebih progresif. Pilihan seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak komoditas ekstraktif, dan pajak ekologi perlu dibahas secara serius dan diimplementasikan untuk memastikan bahwa beban pembangunan ditanggung secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok kaya dan korporasi.   
  • Penguatan Partisipasi Publik yang Mengikat: Pemerintah perlu membangun dan menginstitusionalkan mekanisme konsultasi publik yang substantif dalam seluruh siklus anggaran, dari perencanaan hingga audit. Hal ini harus lebih dari sekadar formalitas. Mengadopsi standar transparansi anggaran yang direkomendasikan oleh lembaga internasional seperti OGP dan GIFT dapat meningkatkan kepercayaan publik dan kualitas kebijakan secara keseluruhan.   
  • Peningkatan Akuntabilitas dan Transparansi: Pemerintah harus menyediakan data dan justifikasi kebijakan fiskal dalam format yang mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat umum. Ini akan memungkinkan pengawasan yang efektif oleh masyarakat dan media, sehingga dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan dari rakyat digunakan untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri.   


Rate this article

Getting Info...

Post a Comment

Copyright ©Blog Aan - All rights reserved.

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
More Details